Kepala Bidang Tata Usaha

kalau ingin menemui saya Jangan lupa sebelum mengumpul berkas, periksa dengan teliti terima kasih.

Foto Bareng Kebersamaan

Aduuh, foto Ibu Ani lawan Ibu Nisa kd Kelihatan nah muha nya, kena kita edit beasa.

Direktur RSUD Datu Sanggul Rantau

Pemberian Pengharhaan Kepada Dokter Muda, Terima kasih telah membantu Pasien di RSUD Datu Sanggul Rantau.

Bunda Hj. Wahidah dan Ibu Ani Rohaini

Santai Haja Muha nya Bu,hehe.

Pertemuan ARSADA Tahun 2013

RSUD Datu Sanggul Rantau Kabupaten Tapin Menjadi Tuan Rumah Pertemua ARSADA Tahun 2013.

Jumat, 15 November 2013

Kompetensi Pemeriksaan USG

Oleh: dr Wahyu W Bachtiar SpB
Dokter Spesialis Bedah di Banjarbaru
Seorang ibu hamil bersama suaminya tergesa-gesa masuk ke dalam ruang praktik dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Mereka tampak cemas dan khawatir. Kepada dokter, keduanya menanyakan apakah janin yang dikandung yang diperkirakan berumur 7 bulan itu memiliki kepala?
Karuan saja dokter tersebut kaget dan mengatakan tidak mungkin mengetahui tanpa melakukan pemeriksaan penunjang ultrasonografi (USG). Setelah dilakukan pemeriksaan USG mereka tampak lega karena hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tidak ada yang salah dengan janin yang dikandung perempuan itu.
Kemudian mereka bercerita bahwa baru saja melakukan pemeriksaan USG di tempat praktik seorang paramedis, yang menyatakan bahwa pada janinnya tidak ditemukan kepala alias tidak berkepala.
Pada kesempatan lain seorang ibu memaksa dokter spesialis kandungan yang merawatnya untuk melakukan sectio cesaria (operasi secar/SC) untuk mengeluarkan janinnya. Alasannya, berdasarkan pemeriksaan USG paramedis, air ketubannya sudah habis sehingga tidak bisa lahir secara normal.
Setelah dilakukan pemeriksaan ulang oleh dokter tersebut jumlah air ketubannya dalam batas normal, tidak habis sehingga bisa diupayakan persalinan normal tidak harus dioperasi SC.
Demikianlah dua buah ilustrasi kasus di atas yang mungkin atau bahkan sudah pernah dialami oleh dokter yang berkecimpung dalam bidang kebidanan dan penyakit kandungan.
Harus dimengerti oleh masyarakat umum, pada dunia kedokteran dan pengobatan ada dua kelompok profesi yang terlibat yaitu medis dan paramedis.
Kelompok pertama (medis) adalah dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter subspesialis, sedangkan kelompok paramedis adalah perawat dan bidan.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) paramedis adalah orang yang bekerja di lingkungan kesehatan sebagai pembantu dokter (seperti perawat). Sejak awal, pola pendidikan kedua jenis profesi ini berbeda. Kalau dokter, harus menempuh jenjang studi strata 1 (S1) di Fakultas Kedokteran universitas negeri atau swasta, tidak ada jurusan D3 atau sarjana muda untuk gelar dokter. Sedangkan untuk profesi paramedis ada jurusan Diploma 3 (D3) misalnya lulusan akademi perawat, akademi kebidanan. Ada juga jurusan S1, S2 bagi perawat bila dia menempuh jenjang pendidikan sarjana keperawatan (SKep).
Kompetensi (kewenangan, kemampuan) profesi medis dan paramedis sangat berbeda. Untuk diagnosis klinis harus dari dokter bukan dari paramedis. Paramedis adalah mitra dokter bekerja sama dalam melaksanakan apa yang sudah diputuskan tersebut.
Ada beberapa kewenangan dokter yang bisa dilimpahkan untuk diaplikasikan kepada pasien, misalnya dokter menginstruksikan memberi obat, kemudian perawat yang menyuntik obat kepada pasien.
Untuk pendidikan dokter spesialis lebih sulit, karena setelah mendapatkan gelar dokter (yang ditempuh kurang lebih enam tahun) harus mengikuti pendidikan lagi kurang lebih 5-6 tahun baru berhak menyandang gelar profesi dokter spesialis. Kemampuan, kapabilitas dan kompetensi antara perawat, dokter dan dokter spesialis jelas berbeda.
Pemeriksaan penunjang USG (ultrasonografi) adalah kompetensi dokter spesialis (medis) bukan kompetensi bidan atau perawat (paramedis). Kalau ini dilanggar maka akan sering terjadi penyakit yang misdiagnosis (salah diagnosis), overdiagnosis (diagnosis yang berlebihan) atau undiagnosis (tidak terdiagnosis). Sebaiknya masyarakat umum memahami hal ini, sehingga tidak berobat atau memeriksakan diri kepada petugas yang tidak kompeten untuk menghindari salah interprestasi seperti ilustrasi kasus pada awal tulisan ini.
Para pengambil keputusan (birokrat) pun harus memahami kompetensi ini. Karena terkadang profesi paramedis dipaksa berperilaku sebagai tenaga medis oleh birokrat yang tidak faham dunia kedokteran, misalnya di suatu puskesmas yang tidak ada tenaga medisnya, diberikan alat USG oleh dinas kesehatan.
Kemudian ada lagi pesantren yang memiliki balai pengobatan, di situ ditempatkan alat USG yang dioperasikan oleh paramedis. Tak heran, diagnosis yang “aneh-aneh” sering muncul dari pasien yang dilakukan pemeriksaan di tempat tersebut.
Untuk tenaga paramedis seharusnya menyadari kewenangan dan kompetensi ini. Mereka hendaknya tidak mudah tergiur bujuk rayu para penjual/penyalur USG buatan Cina dengan harga murah kemudian berpraktik layaknya seorang dokter spesialis. Sekali lagi, ini sangat membahayakan dan merugikan pasien.
Alat USG adalah operator deppendent (tergantung operator/orang yang mengoperasikannya). Untuk melihat adanya kelainan pada tampilan/imaging USG pada layar diperlukan ketajaman mata, ketelitian, jam terbang, dan basic anatomi fisiologi serta embryologi yang kuat. Tidak hanya berdasarkan pelatihan USG yg dilakukan satu mingguan. Orang yang dilatih mengoperasikan USG selama beberapa hari, belum bisa dikatakan kompeten mengoperasikan alat ini.
Dokter spesialis juga harus selalu tetap mengasah diri untuk mengoperasikan USG secara baik dan benar. Setiap peserta pendidikan dokter spesialis bedah dibekali dengan kursus FAST (Focussed abdominal sonoghrapy for trauma) sehingga setiap dokter spesialis bedah diharapkan terampil dalam mendiagnosis adanya cedera organ dalam perut (abdominal) dengan menggunakan USG. Mereka tidak harus selalu buru-buru melakukan prosedur operasi (membuka) perut pasien untuk melakukan diagnosis pada kasus trauma. Dilakukan screening dengan USG terlebih dahulu.
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan biasanya lebih terampil lagi dalam menggunakan alat USG ini. Di samping karena memang kompetensi mereka, kolegium (persatuan) dokter spesialis kebidanan dan kandungan memperlakukan standar yang sangat ketat untuk para anggotanya (dokter spesialis obsgin), untuk melakukan kursus dan pendidikan USG yang berkesinambungan. Agar hasil pemeriksaan USG bagi ibu hamil terukur (accountable) dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Melalui pemeriksan USG diharapkan didapat informasi penting mengenai keadaan janin, misalnya umur dan perkembangan janin, letak plasenta, keadaan air ketuban, posisi janin (sungsang atau tidak) dan banyak informasi penting lain yang berguna dalam manajemen terhadap proses persalinan yang akan dilalui oleh ibu bersama janinnya.
Bukan sekadar mengetahui perkiraan jenis kelamin janin. Melalui pemeriksaan USG ini diupayakan semua kemungkinan dan risiko bisa diantisipasi. Meski demikian, masih saja terkadang timbul penyulit-penyulit yang merubah rencana awal menjadi berbeda.
Mengingat kompleksitas dan kepentingan pemeriksaan ini,  maka pemeriksaan USG bagi ibu hamil harus dilakukan oleh seorang dokter spesialis obsgin yang sudah terlatih, bukan oleh seorang paramedis.
Pemeriksaan USG yang dilakukan oleh paramedis yg tidak kompeten rentan terjadi misinterprestasi terhadap imaging yang dihasilkan mesin USG. Karena, interprestasinya tidak didasari oleh ilmu pengetahuan dan skill yang baik (leak of skill and knowledge). Salah dalam menyimpulkan gambaran sonografis bisa berakibat salah memanagement pasien. Berlaku hukum garbage in garbage out. (*)
sumber: BPOST

Rabu, 13 November 2013

Insan Kesehatan Tapin Rayakan HKN ke-49

Insan Kesehatan Tapin Rayakan HKN ke-49
banjarmasinpost.co.id/ibrahim ashabirin
Dinas Kesehatan Tapin memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke 49 di Gedung Sultan Kuning Tapin, Selasa (12/11).

BANJARMASINPOST.CO.ID, RANTAU - Dinas Kesehatan Tapin memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke 49 di Gedung Sultan Kuning Tapin, Selasa (12/11).
   
Di depan ribuan insan kesehatan Tapin, Bupati Tapin HM Arifin Arpan meminta dinas kesehatan, puskesmas dan poskesdes supaya memperhatikan hal-hal kecil, seperti kalau kaca kantor yang sudah berdebu, segera dibersihkan.
   
Begitu juga kalau cat bangunan sudah kusam, segera dicat atau dikapur, sehingga terlihat lebih bagus.
"Untuk mengajak warga untuk hidup bersih, maka lingkungan kita dulu yang bersih, sehingga menjadi teladan bagi orang lain," jelas HM Arifin Arpan.
   
Kepala Dinas Kesehatan Tapin, Noor Ifansyah mengajak untuk menekan angka anak kurang gizi dan mencegah kegemukan. Meskipun di Tapin tidak ditemukan anak yang mengalami gizi buruk.
   
Menurut Noor Ifansyah, pada 1 Januari 2014 atau  50 hari lagi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diterapkan. JKN ini menuntut layanan dasar yang sasarannya adalah puskesmas.
Hadir dalam acara itu, Wabup Tapin H Sufian Noor, sejumlah kepala dinas dan sejumlah pensiunan perawat.
Bupati Tapin HM Arifin Arpan secara tiba-tiba mengungkapkan akan memberi bantuan dana kepada pensiunan tersebut.
"Ini sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. pungkas bupati,". Him
sumber: BPOST

Tata Ulang Sistem Layanan Kesehatan

Oleh: Pribakti B
Dokter RSUD Ulin Banjarmasin
Masih hangat di benak kita riuh gonjang-ganjing bayi D yang ditolak sedikitnya lima rumah sakit di ibu kota. Ketika itu profesi dokter mendapat sorotan tajam dan tuduhan menolak pasien yang tidak beralasan.
Berbagai pemberitaan di media bukannya membawa kesejukan, justru memelintir fakta dan memperkeruh suasana. Boleh jadi, itulah yang memancing selentingan usul dari seorang politisi untuk membangun fasilitas neonatal intensive care unit (NICU) di puskesmas.
Masa iya itu solusinya? Sebab puskesmas, sesuai namanya, dibangun untuk menjadi pusat kesehatan masyarakat. Sekali lagi, sesuai namanya, puskesmas berlokasi di tengah masyarakat, agar masyarakat dapat memilki akses terhadap fasilitas layanan kesehatan yang dekat dan terjangkau.
Bertolak dari hal tersebut, puskesmas sebagai layanan primer pun dibekali banyak misi untuk menjaga kesehatan masyarakat, dengan berfokus pada upaya pencegahan (preventif), bukan pengobatan (kuratif). Implikasi nyatanya sudah cukup banyak. Sebut saja pemberantasan jentik nyamuk, imunisasi masal, dan penyuluhan gizi. Semuanya dilakukan untuk promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
Usulan untuk membangun NICU di puskesmas jelas bertolak belakang dengan misi pembangunan puskesmas itu sendiri. Bagaimana mungkin fasilitas NICU yang bertujuan menangani bayi baru lahir yang membutuhkan perawatan intensif mendapat tempat dalam upaya “promosi kesehatan dan pencegahan penyakit”? Bukankah lebih tepat dan lebih logis bila fasilitas NICU berada di tempatnya selama ini, yakni di rumah sakit besar atau rumah sakit rujukan?
Sebab berdasar topografi pengorganisasian perawatan kesehatan, layanan kesehatan dibagi menjadi tiga. Pertama, perawatan primer yang meliputi layanan kesehatan umum dan preventif (vaksinasi) sebagai aktivitas utama. Kedua, perawatan sekunder yang meliputi layanan yang membutuhkan keahlian klinis terspesialisasi seperti perawatan Rumah Sakit (RS). Ketiga, perawatan tersier, yang berada di puncak piramida organisasional, yang meliputi penanganan kelainan yang kompleks dan jarang seperti kelainan kongenital.
Artinya, dalam hal ini negara harus mampu mewujudkan struktur perawatan primer-sekunder-tersier dengan rapi dan teratur. Jumlah dokter umum harus lebih banyak daripada dokter spesialis, setidaknya 60:40.
Konsep yang perlu dipertimbangkan, pertama, pelayanan di tingkat perawatan primer dikomando dokter umum, dan tanggung jawab utamanya adalah perawatan ambulatoir (rawat jalan) serta program preventif.
Kedua, di tingkat perawatan sekunder, yang mengisi adalah dokter spesialis seperti penyakit dalam, anak, saraf, jiwa, kandungan, serta bedah umum. Mereka berlokasi di klinik RS dan berperan sebagai konsultan pasien rujukan dokter umum dan melayani rawat inap. Pada giliranya, mereka mengembalikan pasien tersebut ke dokter umum untuk kebutuhan perawatan yang terus-menerus.
Ketiga, ada subspesialis perawatan tersier, seperti ahli bedah jantung, ahli imunologi, dan ahli hematologi anak. Sistem yang ada saat ini masih sangat tidak teratur. Ketika banyak puskesmas yang tidak punya dokter umum, RS menjamur dengan dukungan teknologi modern, yang bergerak cepat hingga makin merebut porsi pelayanan tersier. RS itu berlomba lebih menawarkan perawatan terspesialisasi seperti bedah dan prosedur obstetrik yang berisiko tinggi.
Saya meyakini, pola itu mengakibatkan angka mortalitas lebih tinggi jika dibanding ketika prosedur suatu tindakan dilakukan secara regionalisasi. Belum lagi, pasien terbiasa datang langsung ke layanan spesialis dan perawatan tersier.
Padahal, akuntabilitas perawatan yang menyeluruh masih rendah, karena masing-masing spesialis berfokus memikirkan penanganan satu sistem organ. Lebih parah lagi, masing-masing dokter spesialis itu memberikan layanan perawatan berkualitas tinggi.
Kondisi tersebut sangat membebani pemerintah. Sebab, perawatan berbasis spesialisasi dengan teknologi tinggi lebih bersifat kuratif dan individualistis. Itulah yang membuat perawatan terpecah dan tidak terkoordinasi. Akibatnya, layanan perawatan primer dasar seperti pencegahan penyakit dan dukungan perawatan untuk pasien penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan terpinggirkan.
Dari segi biaya, sistem yang bertumpu pada perawatan spesialis itu berbiaya tinggi (bagi konsumen) dan berarti menjanjikan pendapatan tinggi (bagi dokter dan manajemen). Akibatnya fatal, terjadi tren mahasiswa kedokteran yang makin tidak tertarik untuk memilih perawatan primer sebagai karier.
Bahaya lainnya adalah munculnya industri kesehatan swasta berskala besar yang dari tahun ke tahun makin menjamur dan makin kuat memaksakan pengaruhnya. Kondisi itu makin mengikis profesi kedokteran, sehingga otonomi dan otoritasnya bisa terancam.
Sistem saat ini cenderung membuat jutaan orang bergerak sendiri-sendiri, pertumbuhan dan pluralismenya tidak terkontrol hingga menjurus ke anarki. Pasien merasa terbiasa diperiksa langsung oleh dokter spesialis yang mereka pilih sendiri. Peran dokter umum di lini primer menjadi kurang jelas. Tak heran jika makin sulit mencari dokter umum, karena kini mereka berebut menjadi dokter spesialis.
Rentetan masalah tersebut memunculkan celah di perawatan primer, sehingga beberapa dokter spesialis dari tingkat perawatan tersiernya juga berperan sebagai dokter keluarga primer. Jadilah perawatan primer itu tempat praktik bagi banyak dokter spesialis dengan peran yang tumpang tindih. Kondisi tersebut banyak terjadi di daerah surplus ekonomi dan padat penduduk.
Sementara itu, di daerah miskin, mendapatkan dokter umum saja masih sulit. Bisa dikatakan, fondasi perawatan primer kita sedang terancam retak. Ini masalah mendesak. Pemerintah perlu secepatnya menata ulang sistem layanan primer-sekunder-tersier.
Selamat Hari Kesehatan Nasional! (*)

Paramedis Tapin Bertanding Futsal

Paramedis Tapin Bertanding Futsalbanjarmasinpost.co.id/ibrahim ashabirin
Hari kesehatan nasional ke 49 turut dirayakan oleh jajaran dinas kesehatan di Kabupaten Tapin selama tiga hari Jumat hingga Minggu (8-10/11) di Lapangan Dwi Dharma Tapin. 

BANJARMASINPOST.CO.ID, RANTAU - Hari kesehatan nasional ke 49 turut dirayakan oleh jajaran dinas kesehatan di Kabupaten Tapin selama tiga hari Jumat hingga Minggu (8-10/11) di Lapangan Dwi Dharma Tapin.

Perayaan tersebut dalam bentuk pertandingan bola voli, futsal, tenis meja dan catur. Baik putra dan putri yang diikuti oleh seluruh puskesmas se-Tapin termasuk jajaran Rumah Sakit Datu Sanggul Tapin.

Pantauan BPost Online, Sabtu (9/11) di lapangan, pertandingan bola voli itu seringkali mengundang tawa, sebab paramedis yang biasanya melayani pasien, justru bermain voli, sehingga tampak sekali kekakuan seperti sasaran bola yang sering meleset dari sasaran bahkan sesekali terjatuh.
Kepala Dinas Kesehatan Tapin, Noor Ifansyah, mengatakan berbagai pertandingan olahraga dalam memeringati hari kesehatan nasional ini untuk menyambung dan mempererat tali silaturahim.

"Dari pantauan kami selama pertandingan ini, seolah-olah jadi ajang reuni bagi paramedis, sebab selama ini mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, sekarang kami pertemukan mereka dalam momentum hari kesehatan," jelas Noor Ifansyah.
"Kami juga akan menggelar seminar kesehatan dan aksi sosial," pungkasnya
sumber : BPOST

KEPUTUSAN MUNAS VI ARSADA

  • KeputusanNo. 001/Munas VI ARSADA/2013Pengesahan Tata Tertib dan Jadwal Acara Munas VI ARSADA 2013
  • KeputusanNo. 002/Munas VI ARSADA/2013Penetapan Pimpinan Munas VI ARSADA 2013
    Ketua : dr. Sasongko, M.Kes
    Wakil Ketua : dr. Nonot Mulyono, M.Kes
    Sekretaris : DR. dr. Tubagus Abeng, MMR
  • KeputusanNo. 003/Munas VI ARSADA/2013Menerima Pertanggungjawaban Pengurus Pusat ARSADA 2010 - 2013
  • KeputusanNo. 004/Munas VI ARSADA/2013Pengubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ARSADA
  • KeputusanNo. 005/Munas VI ARSADA/2013Penetapan Pokok-Pokok Program Kerja Pengurus Pusat ARSADA 2013 - 2016
  • KeputusanNo. 006/Munas VI ARSADA/2013Penetapan Rekomendasi Munas VI ARSADA 2013
  • KeputusanNo. 007/Munas VI ARSADA/2013Penetapan Ketua Umum PP ARSADA 2013-2016 Dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes.
  • KeputusanNo. 008/Munas VI ARSADA/2013 Ratifikasi Nota Kesepakatan Organisasi-Organisasi Perumahsakitan Indonesia

 REKOMENDASI MUNAS VI ARSADA
Meminta kepada Pemerintah untuk :
  1. Segera menyelesaian regulasi pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang akan  diberlakukan 1 Januari 2014.
  2. Segera mensosialisasi regulasi pelaksanaan JKN yang telah tersusun kepada masyarakat, pemerintah daerah, rumah sakit daerah, fasilitas kesehatan lain dan organisasi profesi, serta pihak-pihak yang terkait.
  3. Apabila Pemerintah tidak dapat menyelesaikan regulasi seperti tersebut dalam point 1 dan 2 di atas dalam waktu 2 bulan sebelum 1 Januari 2014, maka  disarankan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan waktu dimulainya pelaksanaan BPJS.
  4. Memperjelas pembagian peran antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten Kota, Asosiasi Perumah Sakitan, Organisasi Profesi dalam pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap pelayanan kesehatan rujukan, terkait dengan:      a.   Regulasi
         b.   Pembiayaan
         c.   Mutu Layanan (Akreditasi)
         d.   Referal Health  System
  5. Membuat pengaturan tentang distribusi – frekwensi jumlah RS dan tenaga medis di masing masing daerah tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten Kota.
  6. Membentuk Komite Nasional Jaminan Kesehatan Nasional yang bertugas mengawasi pelaksanaan JKN.
 Dr-Kuntjoro-ketua-umum-arsada-pusat-terpilih-bersama-jusuf-kallaDr. Kuntjoro, ketua umum arsada pusat terpilih bersama Jusuf Kalla, mantan wapres RI  Dr-kuntjoro-memberikan-piagam-penghargaanDr kuntjoro memberikan piagam penghargaan sebagai pembicara pada acara penutupan munas arsada di jakarta, 6 september 2013

 Ketua-umum-arsada-pusat-terpilih-dr.-KuntjoroKetua umum arsada pusat terpilih, dr. Kuntjoro memberikan sertifikat pada pengurus forum pejabat keuangan blud yang baru dibentuk  Ketua-umum-arsada-pusat-terpilih-mengucapkan-terima-kasih-pada-dr.SasongkoKetua umum arsada pusat terpilih mengucapkan terima kasih pada dr. Sasongko selaku pemimpin sidang organisasi

sumber: ARSADA

Minggu, 03 November 2013

Merujuk Pasien Bukan Kelemahan

Oleh : dr H Wahyu W Bachtiar SpB
Dokter di Banjarbaru
Dalam dunia kedokteran, istilah “merujuk” merupakan upaya mengirim pasien untuk dilakukan pengobatan ke tempat dengan fasilitas, prasarana dan sarana yang lebih baik daripada tempat asal.
Dalam mengobati pasien, setiap dokter pasti memiliki keterbatasan, itu bisa disebabkan karena peralatan, bahan-bahan ataupun sumber daya yang terlibat dalam proses pengobatan itu tidak memadai, sehingga pasien perlu dirujuk ke fasilitas yang lebih tinggi.
Sekarang setiap dokter juga mengenal istilah kompetensi, kurang lebih berarti daftar tindakan atau penyakit-penyakit apa yang yang bisa ditangani dokter berdasarkan tingkat pendidikan yang sudah ditempuhnya. Misalnya dokter umum hanya boleh mengerjakan penyakit penyakit yang sifatnya umum dan tidak boleh melakukan operasi mayor/besar. Jadi kalau menemui kasus penyakit yang memang bukan kompetensinya dokter boleh merujuk pasien itu ke fasilitas yang ada dokter yang bisa mengerjakan kasus tersebut.
Sikap mau merujuk pasien ini, sebenarnya cermin dari kehati-hatian dan kerendahan hati dokter demi keselamatan pasien, istilah yang populer sekarang adalah patient safety goal, tujuannya adalah keselamatan pasien.
Di kota kota besar dan dunia ada istilah JCI (joint commision international) for safety patient  suatu komisi international perduli keselamatan pasien.  Setiap rumah sakit besar berlomba-lomba mendapatkan sertifikat JCI, agar memenuhi standar internasional dalam keselamatan pasien. Dan dalam proses selanjutnya bisa mencantumkan rumah sakit berkelas internasional.
Dalam hal pelayanan kesehatan, keselamatan pasien adalah di atas segala-segalanya. Harus difahami semua pihak di luar kalangan medis yang terlibat dalam operasional rumah sakit.  Jadi pelayanan yang diberikan seyogyanya yang terbaik.
Pertimbangan ini sepenuhnya ditangan tenaga medis yang profesional sesuai bidang dan kompetensi dokter dan dokter spesialis yang bekerja di rumah sakit tersebut. Sangat beresiko kalau pertimbangan pemilihan obat obatan, bahan habis pakai dan peralatan berdasarkan harga dan kebijakan di luar pertimbangan kedokteran. Jadi prinsip kalau ada yang murah kenapa harus beli yang mahal tidak berlaku dalam dunia kedokteran.
Misalnya pemilihan antibiotik bagi pasien, harus berdasarkan pertimbangan bukti epidemiologis, pertimbangan klinis, pola kuman, dan kompetensi klinik dokter yang merawat. Bukan atas perintah atau keinginan pemerintah kabupaten apalagi keinginan direktur rumah sakit.
Karena kalau hal ini terjadi, objektivitas para dokter terhadap diagnosis dan terapi pasien menjadi berkurang, lebih bahaya lagi kalau pertimbangan obat yang berikan adalah hanya berdasarkan ketersediaan obat di rumah sakit saja, bukan berdasarkan pilihan obat yang “terbaik” bagi pasien.
Kalau ini terjadi masa tinggal pasien di RS bisa menjadi panjang karena pasiennya tidak sembuh sembuh, atau indikator laboratoriumnya tidak membaik sebagai prasyarat pasien untuk pulang dari rumah sakit, bisa juga terjadi luka operasi yang tidak sembuh-sembuh.
Dan satu satunya pihak yang mengerti dan kompeten dalam menilai kondisi pasien ini adalah dokter atau dokter spesialis yang merawat pasien, bukan pihak lain. Sesama dokter spesialis pun tidak bisa saling menilai, atau menyalahkan. Dokter spesialis anak, tidak bisa menyalahkan atau menilai keputusan klinis yang diambil oleh dokter spesialis kebidanan dan kandungan, demikian juga sebaliknya.
Demikian juga keputusan merujuk ataupun tidak merujuk mutlak di tangan dokter dan dokter spesialis yang merawat, bukan atas saran direktur atau pemerintah kabupaten. Bayangkan misalnya seorang kepala pemerintah daerah ikut campur dengan meminta dokter dokter di kabupatennya tidak merujuk pasien ke tempat fasilitas lain karena “merasa” fasilitas di kab masih mampu. Tentunya hal ini melampaui kewenangan klinis yang diemban dokter.
Kadang-kadang terkesan konyol dan lucu kalau ada direktur rumah sakit atau pemerintah kabupaten yang terang-terangan melarang merujuk pasien. Sebagai ilustrasi kasus, ada pasien kecelakaan lalu lintas jauh dari Banjarmasin,  pasien mengalami benturan di kepala, dan dicurigai mengalami epidural hematom, pasien tidak sadar. Dalam situasi ini tidak ada yang bisa dilakukan untuk menolong pasien  selain segera melobangi kepala pasien untuk mengeluarkan hematom atau darah yang menekan otak.
Masalahnya apakah rumah sakit itu memiliki set untuk craniotomi? (peralatan operasi pelubang tengkorak kepala), kalaupun peralatan tersedia, apakah dokter bedahnya berani melakukan tindakan tanpa pemeriksaan penunjang ct scan (computerized tomography scanning) kepala yang adanya hanya di RS Besar di Banjarmasin?. Kalaupun dokter bedahnya berani melakukan tindakan “heroik” dengan melakukan sehingga pasiennya menjadi sadar, apakah rumah sakit kabupaten itu memiliki ruang rawat yang baik untuk seperti ICU atau ruang perawatan intensif yang memadai.
Karena tidak jarang dokter bedah bisa operasi, tetapi perawatan pascaoperasinya tidak memadai, hasil operasi tetap tidak memuaskan, pasien tetap tidak tertolong, walaupun selamat dan hidup saat keluar dari kamar operasi, tetapi meninggal beberapa hari kemudian karena perawatan  pasca operasi yang tidak adekuat.
Dalam kondisi tersebut maka sebaiknya sejak awal pasien tersebut dirujuk ke RS yang fasilitasnya memadai. Dalam situasi tersebut hanya dokter satu satunya yang mengerti kondisi pasien. Bukan siapapun.
Jadi jangan pernah melarang para dokter untuk merujuk pasiennya, tetapi berikan imbauan bagi para dokter untuk mengerjakan kewenangan klinisnya dengan standar tinggi dengan menempatkan pertimbangan keselamatan pasien sebagai pertimbangan tertinggi.
Jangan pernah memberikan penilaian klinis sepihak, mengenai tindakan yang sudah dilakukan oleh para dokter karena kita mungkin sama sekali tidak berkompeten (tidak cukup ilmu) untuk mengomentari, menyalahkan, membenarkan tindakan seorang dokter. Yang berhak adalah kolegium (perkumpulan dokter spesialis) itu sendiri.
Jangan bermain-main dengan keselamatan pasien, berikan obat yang terbaik yang bisa diberikan kepada pasien, jangan hanya mengandalkan obat generik, terkadang obat generik tidak cukup untuk mengobati pasien dengan banyak komplikasi.
Pemerintah berkewajiban memberikan sarana dan obat-obatan yang terbaik kepada masyarakatnya kalaupun ada perbedaan harga antara obat yang baik dan obat yang biasa, adalah kewajiban pemerintah untuk menyukupi, bagaimanapun caranya, atau melakukan pendekatan dengan asuransi yang biasa mengcover pembiayaan bagi masyarakat, untuk menyediakan obat yang baik.
Tidak hanya pasrah dengan keadaan, dan memaksa para dokter untuk memberikan pengobatan “seadanya” saja. Dan membatasi batasi para dokter untuk melakukan keputusan klinis yang sudah menjadi kewenangan klinis para dokter. (*)

sumber: http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/10/31/merujuk-pasien-bukan-kelemahan

Jamkes, Pencitraan atau Tulus



Oleh : dr H Milhan SpOG, MMDokter RSUD Datu Sanggul Rantau, Tapin

Pada 7 April tiap tahun diperingati sebagai Hari Kesehatan Sedunia. Sesungguhnya derajat kesehatan masyarakat dunia tentu dipengaruhi derajat kesehatan masing-masing negara.

Di Indonesia sistem pelayanan kesehatan terus dibenahi, termasuk dengan kejadian-kejadian yang banyak menyedot perhatian publik. Berita bayi Dera yang meninggal karena katanya ditolak 10 rumah sakit di Jakarta, beberapa media dan publik seakan seragam “menyalahkan” pihak rumah sakit dan dokternya, walaupun sudah ditanggapi Menkes bahwa itu hanya masalah miskomunikasi dan keterbatasan sarana, dan semestinya  publik melihat dengan kacamata berimbang dan mencarikan solusi permasalahan kesehatan di Indonesia.

Berbagai macam komentar miring muncul mengiringi berita tentang nasib bayi Dera. Bayi berat badan seribu gram “tidak boleh mati”. Awas, itu dosa besar, rumah sakit tidak profesional, dokter tidak bermoral, menteri diam saja, gubernur cuma pencitraan, tuntut sampai tuntas semua yang terlibat dalam kematian bayi tidak berdosa, dan vonisnya: Si Miskin Tidak Boleh Sakit.

Belum hilang ngiang tentang “penolakan” terhadap bayi Dera, ada lagi berita pernyataan ketua komisi IX DPR tentang “profesi dokter lebih jahat daripada polantas”, yang berlanjut dengan surat permintaan klarifikasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) kepada yang bersangkutan terkait pernyataan tersebut.

Hampir semua dokter di Indonesia protes dengan pernyataan tersebut dan membuat petisi agar yang bersangkutan diberhentikan sebagai ketua komisi IX DPR RI dan meminta maaf.

Bahkan ada pernyataan bahwa dokter tidak mau meresepkan obat generik dan memaksakan pasien untuk memakai obat paten. Setahu saya pernyataan itu tidak benar. Perusahaan farmasi membantu kalangan kedokteran dalam hal penelitian, dan publikasi ilmu pengetahuan kedokteran yang sangat dinamis.

Kalau pun dokter difasilitasi untuk mengikuti seminar dalam dan luar negeri, itu sudah dibenarkan oleh kode etik, karena dalam rangka meningkatkan riset dan publikasi ilmu kedokteran.

Seorang sahabat dalam status facebook-nya mengatakan: Apa saja yang sudah dilakukan oleh pekerja kesehatan, sejuta, sepuluh juta, seratus juta orang sakit yang berhasil diobati, kematian dokter di rimba pedalaman, honor petugas kesehatan yang lebih rendah dari sopir bis, penyakit dan kematian akibat beban kerja paramedis yang overload, tidak akan diberitakan, karena tidak laku diberitakan. Yang laku adalah kematian bayi prematur dengan kelainan berat badan dan komplikasi medis yang menyertainya.

Sudah menjadi “nasib”, dokter dianggap laksana dewa. Dokter adalah makhluk Tuhan yang tercipta untuk menolong sesama, dokter bak malaikat yang tidak boleh melakukan kesalahan, dokter adalah penyembuh, bahkan dokter dianggap sebagai penyebab hidup atau matinya seseorang.

Tapi mungkin tidak banyak yang sadar bahwa dokter juga manusia yang bisa lelah, dokter adalah juga seperti manusia umumnya yang bisa melakukan kesalahan, dokter hanyalah manusia yang disumpah untuk melakukan yang terbaik sesuai kemampuannya dan bukan bersumpah untuk menjadi sempurna.

Di beberapa negara pembiayaan pelayanan kesehatan memang mahal, tapi karena sistem asuransi bagus jadi ter-cover semua. Di Indonesia, masyarakat cuma mau ter-cover-nya saja tanpa bayar asuransi. Artinya masyarakat miskin dan juga termasuk masyarakat kaya digratiskan berobat bahkan sampai operasi dibayari oleh pemerintah, tanpa bayar asuransi.

Padahal anggaran pemerintah sendiri tidak cukup. Contoh: di suatu kabupaten, pemda mengganggarkan biaya pengobatan gratis warganya misalnya Rp 3 miliar per tahun. Biaya sebanyak itu, terkadang habis dalam waktu 7-8 bulan, akhirnya pemda mengutang pembiayaan itu sama rumah sakit dan puskesmasnya. Rumah sakitnya mengutang sama distributor obat-obatan, termasuk mengutang membayar jasa petugas kesehatannya.

Semestinya semua masyarakat bayar asuransi kesehatan, atau kalaupun harus dijamin atau digratiskan itu adalah masyarakat yang benar-benar miskin. Ini yang mampu juga digratiskan, contohnya di Kabupaten Tapin, Kalsel. Asal punya KTP Tapin bisa berobat. Padahal dana yang disiapkan pemda itu kalau benar-benar untuk masyarakat miskin tentu akan lebih banyak warga miskin yang bisa berobat.  Dan dengan masyarakat mampu yang juga digratiskan akan membuat masyarakat manja, dan malas berusaha.

Sehingga ketika ada berita gaji dokter lebih kecil daripada sopir busway, beragam komentar pro kontra muncul baik dari kalangan kedokteran maupun bukan kedokteran. Ada yang mengatakan wajar karena sopir busway membawa ratusan orang perlu konsentrasi tinggi. Sementara ada yang mengatakan dokter menangani orang sakit sedangkan batas antara sakit dan kematian lebih dekat, sehingga justru perlu lebih tinggi konsentrasi dan peningkatan ilmu dan keterampilannya, dan bahkan di Jakarta dengan adanya program Kartu Jakarta Sehat (KJS) seorang dokter sehari melayani kurang lebih 100 pasien.

Berbicara tentang keikhlasan, seorang dokter yang  meluangkan waktu dan pergi ke tempat kerja atau mendatangi pasien, itu pasti perlu transport? Dan di UU negara kita dokter juga berhak mendapatkan imbalan atas jasanya, bukan hanya perlu keikhlasan untuk menyambung hidup. Saya kira tidak perlu bicara lagi  keikhlasan para dokter. Saya yakin para teman sejawat dokter pasti mengusahakan yang terbaik bagi pasiennya.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya sempat baca komentar karyawan sebuah RSUD di Jakarta kaitannya dengan pelayanan kesehatan tanpa memperhatikan petugasnya:  “.....kami dari RSUD Pasar Rebo sejak awal KJS kelas II nya sudah menampung pasien KJS, bahkan kelas I istimewa (hampir VIP) juga kebagian pasien KJS, dari segi tempat, kebetulan memang sejak jauh hari RSUD kami sudah buat gedung baru, tapi bukan untuk fasilitas ruang rawat, untuk tenaga SDM belum ada penambahan, bahkan hampir 80% kami baik dokter spesialis sampai pegawai kecilnya belum diangkat jadi PNS... bagaimana manajemen RSUD mau nolak... takutlah nanti dipecat... alhasil kita bawahan diperas untuk pencitraan penguasa...Program KJS bagus, hanya terkesan utk pencitraan...karena kalau memang tulus, pastilah nasib kita sebagai petugas kesehatan juga diperhatikan...”

Jaminan pelayanan kesehatan masyarakat, apa pun namanya harus tetap memperhatikan kemampuan dan kesejahteraan petugasnya. Jasa pelayanan jaminan kesehatan dibayar tiap bulan, Sarana dan prasaran dilengkapi. Keluhan dan usulan pasien dan petugas kesehatan didengar dan diperhatikan. (*)

link: http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/04/09/jamkes-pencitraan-atau-tulus

Puluhan Balita di Tapin Terserang Diare

Puluhan Balita di Tapin Terserang Diare
BANJARMASINPOST.CO.ID,  RANTAU - Penyakit diare kembali menyerang balita di Kabupaten Tapin, selama Agustus hingga September sudah puluhan yang rawat jalan dan rawat inap di Rumah Sakit Datu Sanggul Tapin.
Dari pantauan Bpost di RS Datu Sanggul, Rabu (18/9) beberapa balita sedang rawat inap karena terserang diare.
  
Berdasarkan data RS Datu Sanggul, selama Agustus 2013 sudah 25 balita yang mengalami rawat jalan karena diare dan 31 balita yang rawat inap.
Direktur RS Datu Sanggul, dr Purwoko,  membenarkan maraknya diare menyerang balita di Tapin. "Ya, memang benar banyak balita terserang diare sejak setelah lebaran kemarin hingga sekarang," ungkap dr Purwoko kepada Bpost.
Penyebab maraknya diare ini karena kurang menjaga kebersihan makanan, minuman dan lingkungan, jelas dr Purwoko. Him

sumber: http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/09/18/puluhan-balita-di-tapin-terserang-diare

ARSADA Tahun 2013 di RSUD Datu Sanggul Rantau Kabupaten Tapin

 
Pertemuan ARSADA (Asosiasi Rumah Sakit Daerah) wilayah Kalimantan Selatan di adakan dengan tema "Pelaksanaan Akreditasi RS versi baru dan strategi persiapan RS" bertempat di Aula lantai 3 BLUD RSU Datu Sanggul Rantau yang beralamat di Jl. Brigjend H. Hasan Baseri Km 1 Rantau selaku tuan rumah. Pada pertemuan kali ini dihadiri oleh direktur beserta staf dan perwakilan dari 12 RS kabupaten/Kota, ditambah dengan RS JIwa Sambang Lihum, RS Gigi dan Mulut serta RSU Anshari Saleh Banjarmasin. Acara yang juga dihadiri sekitar 60 an orang staf dan karyawan BLUD RSUD Datu Sanggul Rantau yang memenuhi aula. Diawali dengan menyanyikan Lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh kelompok paduan suara Dharma Wanita unit RSUD DS yang dilenjutkan dengan beberapa lagu daerah Tapin menambah semarak suasana acara.

Pada kesempatan pertama Direktur BLUD RSU Datu Sanggul Rantau dr.H.Purwoko, Sp.A menyampaikan ucapan selamat datang kepada seluruh peserta pertemuan dan terimakasih kepada pengurus ARSADA wil.kalsel yang telah menunjuk RSUD DS sebagai tuan rumah. Direktur yang sekaligus dokter spesialis Anak ini juga memamparkan tentang profil, kondisi terkini serta rencana kedepan dalam rangka menghadapi perkembangan zaman. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi menurut dr.Pur biasa dipanggil adalah peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, sehingga palaksanaan akredisi yang merupakan salah asatu penilaian mutu pelayanan tersebut sangat penting dilaksanakan.

Ketua ARSADA Kalsel dr. H. Abimanyu, Sp.PD yang menyampaikan sambutan kedua yang sempat melontarkan pujian kapada direktur RSUD DS atas kepemimpinan dan rasa salutnya atas daya juang dr.purwoko terutama persiapan penyelenggaraan pertemuan tersebut. dr. abimanyu yang pernah menduduki jabatan sebagai Direktur RSU Ulin Banjarmasin RS terbesar diwilayah Kalselteng ini menjelaskan tujuan dari pertemuan tersebut diantaranya bertujuan mempererat talisilaturahmi antar RS sehingga terjadi transfer of knowledge. Juga bertujuan untuk saling membangkitkan semangat antar institusi pelayanan masing-masing dan mengetahui tentang akreditasi RS versi terbaru.

Pertemuan dibuka oleh Bupati Tapin yang diwakilkan kepada Staf Ahli Bidang Pembanguanan yang juga mantan Kadinkes Kab.Tapin H.Erani Martin , SKM. Dalam sambutan tertulisnya Bupati Tapin yang dibacakan oleh H.Erani Martin menyampaikan bahwa Pihak pelayanan kesehatan, khususnya Rumah Sakit yang menjadi lini terdepan pelayanan kesehatan perorangan yang langsung berhadapan dengan masyarakat harus sanggup melaksanakan tugasnya sebaik mungkin. Rumah Sakit pada masa kini makin dituntut untuk dapat melaksanakan pelayanan kesehatan yang lebih baik, dalam arti bermutu, mengutamakan keamanan pasien (patient safety) dan terjangkau untuk semua lapisan masyarakat. Rumah Sakit harus terus menerus meningkatkan kualitasnya, baik dari sisi medis maupun manajemennya.
Namun masih banyak hambatan yang dihadapi Rumah Sakit, masih banyak hal yang perlu diperbaiki, baik dalam hal sarana prasana maupun manajemen pengelolaan.

Sebagai wadah berhimpunnya Rumah Sakit Daerah, ARSADA dapat menjadi ajang kerjasama antar Rumah Sakit, menjadi sarana untuk penyampaian informasi yang berkaitan dengan permasalahan rumah sakit di daerah. diharapkan dapat menjadi fasilitator, motivator dan advokator bagi Rumah Sakit Daerah, sehingga Rumah Sakit Daerah mempunyai daya saing yang tinggi dengan kemampuan memanfaatkan peluang pasar, akan tetapi tetap menjalankan fungsi sosialnya secara wajar.
ARSADA diharapkan dapat ikut mengembangkan manajemen Rumah Sakit Daerah melalui pengembangan kompetensi pada manajer Rumah Sakit Daerah lanjut beliau.

Sebagai penutup Bupati berharap bahwa ARSADA akan semakin mampu mengembangkan program yang inovatif dan melaksanakan kegiatan-kegiatan secara baik agar ARSADA mampu menjadi organisasi yang mumpuni dimasa yang akan datang.

Pada sesi Ilmiah salah satu konsultan akreditasi RS yakni dr. Manahan, K.P yang juga pernah menjabat Kadinkes Kab.Tapin sekitar tahun 90an menyampaikan betapa pentingnya akreditasi dan aturan-aturan yang mendasarinya dimana perekembangan akreditasi lama yang dimulai menggunakan self asessment 5 s/d 12 pokja berubah sejak tahun 2012 menjadi 4 pokja yaitu Pokja I.Standar Pelayanan Berfokus kepada Pasien, Pokja II standar Manajemen Rs, Pokja III. Sasaran Keselamatan Pasien serta Pokja IV. Sasaran Program MDGs.
Diharapkan beliau agar masing-masing pimpinan memahami dan dapat segra menerapkan versi terbaru tersebut diseluruh RS di wilayah Kalsel telah terakreditasi sesuai penilaian yang dilakukan oleh tim KARS Kemenkes RI. Ingat motto akreditasi tulis yang dikerjakan dan kerjakan apa yang ditulis.

Acara diakhiri dangan ramah tamah dan hiburan dari artis lokal Rantau
Semoga Allah SWT, Tuhan yang Maha Kuasa berkenan meridhoi dan
memudahkan langkah kita. Amin

Sekian dan terima kasih
download link materi pertemuan : disini
Free Backlinks