KEJANG DEMAM
Oleh : Rakhmadaningsih, AMK (KaRu Perawatan
Anak dan bayi)
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang
klonik atau tonik klonik bilateral. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi
seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan
sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan
fokal.
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8 % berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparisis sementara (hemiparises Todd ) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparises yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama ( Mansjoer, 2000 : 435 ).
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8 % berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparisis sementara (hemiparises Todd ) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparises yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama ( Mansjoer, 2000 : 435 ).
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan cairan cerebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada
bayi- bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga pungsi
lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan
untuk yang berumur kurang dari 18 bulan.. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak
dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumberi infeksi.
6. Penatalaksanaan
a. Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien
dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus
bebas agar oksigenasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran,
tekanan darah, suhu, pernafasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi
diturunkan dengan kompres dingin dan pemberian antipiretik. Obat yang paling
cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena atau
intrakranial.
b. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
c. Pengobatan Profilaksis.
c. Pengobatan Profilaksis.
1. Profilaksis Intermiten saat demam
Diberikan Diazepam secara oral dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula diberikan secara
intra rektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg bila BB <> 10 kg setiap pasien
menunjukkan suhu lebih dari 38,5 oC.
2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15 – 40 mg/kg BB/hari.
B. Tinjauan Teoritis Keperawatan Kejang Demam
2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15 – 40 mg/kg BB/hari.
B. Tinjauan Teoritis Keperawatan Kejang Demam
a. Aktifitas / Istirahat Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain. Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot.
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain. Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot.
b. Sirkulasi Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
. Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan.
c. Eliminasi Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine / fekal ).
d. Makanan dan cairan Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan aktifitas kejang.
c. Eliminasi Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine / fekal ).
d. Makanan dan cairan Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan aktifitas kejang.
e. Neurosensori Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang
berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
f. Nyeri / kenyaman Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung
pada periode posiktal. Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot. Tingkah laku distraksi / gelisah.
g. Pernafasan Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis,
pernafasan menurun / cepat, peningkatan sekresi mukus. Fase posiktal : apnea.
2. Diagnosa Keperawatan. menurut Carpenito ( 1999 : 468 ):
a. Resiko terhadap bersihan jalan nafas / pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan relaksasi lidah sekunder akibat gangguan persyarafan otot.
b. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan gerakan tonik / klonik yang tidak terkontrol selama episode kejang.
b. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan gerakan tonik / klonik yang tidak terkontrol selama episode kejang.
c. Peningkatan suhu tubuh ( hypertermia ) berhubungan dengan proses
penyakit.
d. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program
terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan ( orang tua ) tentang kondisi,
pengobatan dan aktifitas kejang selama episode kejang.
3. Rencana Keperawatan Menurut Carpenito ( 1999 ) ,:
a. Resiko terhadap bersihan jalan nafas / pol tidak efektif berhubungan dengan relaksasi lidah sekunder akibat gangguan persyarafan otot.
3. Rencana Keperawatan Menurut Carpenito ( 1999 ) ,:
a. Resiko terhadap bersihan jalan nafas / pol tidak efektif berhubungan dengan relaksasi lidah sekunder akibat gangguan persyarafan otot.
Intervensi :
1). Baringkan klien di tempat yang rata, kepala dimiringkan dan
pasang tongue spatel
2). Singkirkan benda – benda yang ada disekitar pasien, lepaskan
pakaian yang mengganggu pernafasan ( misal : gurita )
3). Lakukan penghisapan sesuai indikasi.
4). Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2 dan obat anti
kejang.
b. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan gerakan tonik /
klonik yang tidak terkontrol selama episode kejang.
Intervensi :
Intervensi :
1). Jauhkan benda – benda yang ada disekitar klien.
2). Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak jatuh ke belakang, menyumbat jalan nafas.
2). Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak jatuh ke belakang, menyumbat jalan nafas.
3). Awasi klien dalam waktu beberapa lama selama / setelah kejang.
4). Observasi tanda – tanda vital setelah kejang.
5). Kolaborasi dnegna dokter untuk pemberian obat anti kejang.
c. Peningkatan suhu tubuh ( hypertermia ) berhubungan dengan proses penyakit.
5). Kolaborasi dnegna dokter untuk pemberian obat anti kejang.
c. Peningkatan suhu tubuh ( hypertermia ) berhubungan dengan proses penyakit.
Intervensi :
1). Observasi tanda vital tiap 4 jam atau lebih.
2). Kaji saat timbulnya demam.
2). Kaji saat timbulnya demam.
3). Berikan penjelasan pada keluarga tentang hal-hal yang dapat
dilakukan.
4). Anjurkan pada keluarga untuk memberikan masukan cairan 1,5 liter
/ 24 jam.
5). Beri kompres dingin terutama bagian frontal dan axila.
6). Kolaborasi dalam pemberian terapi cairan dan obat antipiretik.
d. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan ( orang tua ) tentang kondisi, pengobatan, aktifitas, kejang selama perawatan.
Intervensi :
5). Beri kompres dingin terutama bagian frontal dan axila.
6). Kolaborasi dalam pemberian terapi cairan dan obat antipiretik.
d. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan ( orang tua ) tentang kondisi, pengobatan, aktifitas, kejang selama perawatan.
Intervensi :
1. Jelaskan pada keluarga tentang pencegahan, pengobatan dan
aktifitas selama kejang.
2. Jelaskan pada keluarga tentang faktor – faktor yang menjadi
pencetus timbulnya kejang, misal : peningkatan
suhu tubuh.
3.
Jelaskan pada keluarga, apabila terjadi kejang berulang atau kejang terlalu
lama walaupun diberikan obat, segera bawa klien ke rumah sakit terdekat.