Oleh: Pribakti B
Dokter RSUD Ulin Banjarmasin
Masih
hangat di benak kita riuh gonjang-ganjing bayi D yang ditolak
sedikitnya lima rumah sakit di ibu kota. Ketika itu profesi dokter
mendapat sorotan tajam dan tuduhan menolak pasien yang tidak beralasan.
Berbagai
pemberitaan di media bukannya membawa kesejukan, justru memelintir
fakta dan memperkeruh suasana. Boleh jadi, itulah yang memancing
selentingan usul dari seorang politisi untuk membangun fasilitas
neonatal intensive care unit (NICU) di puskesmas.
Masa iya itu
solusinya? Sebab puskesmas, sesuai namanya, dibangun untuk menjadi pusat
kesehatan masyarakat. Sekali lagi, sesuai namanya, puskesmas berlokasi
di tengah masyarakat, agar masyarakat dapat memilki akses terhadap
fasilitas layanan kesehatan yang dekat dan terjangkau.
Bertolak
dari hal tersebut, puskesmas sebagai layanan primer pun dibekali banyak
misi untuk menjaga kesehatan masyarakat, dengan berfokus pada upaya
pencegahan (preventif), bukan pengobatan (kuratif). Implikasi nyatanya
sudah cukup banyak. Sebut saja pemberantasan jentik nyamuk, imunisasi
masal, dan penyuluhan gizi. Semuanya dilakukan untuk promosi kesehatan
dan pencegahan penyakit.
Usulan untuk membangun NICU di puskesmas
jelas bertolak belakang dengan misi pembangunan puskesmas itu sendiri.
Bagaimana mungkin fasilitas NICU yang bertujuan menangani bayi baru
lahir yang membutuhkan perawatan intensif mendapat tempat dalam upaya
“promosi kesehatan dan pencegahan penyakit”? Bukankah lebih tepat dan
lebih logis bila fasilitas NICU berada di tempatnya selama ini, yakni di
rumah sakit besar atau rumah sakit rujukan?
Sebab berdasar topografi pengorganisasian perawatan kesehatan, layanan
kesehatan dibagi menjadi tiga. Pertama, perawatan primer yang meliputi
layanan kesehatan umum dan preventif (vaksinasi) sebagai aktivitas
utama. Kedua, perawatan sekunder yang meliputi layanan yang membutuhkan
keahlian klinis terspesialisasi seperti perawatan Rumah Sakit (RS).
Ketiga, perawatan tersier, yang berada di puncak piramida
organisasional, yang meliputi penanganan kelainan yang kompleks dan
jarang seperti kelainan kongenital.
Artinya, dalam hal ini negara
harus mampu mewujudkan struktur perawatan primer-sekunder-tersier dengan
rapi dan teratur. Jumlah dokter umum harus lebih banyak daripada dokter
spesialis, setidaknya 60:40.
Konsep yang perlu dipertimbangkan,
pertama, pelayanan di tingkat perawatan primer dikomando dokter umum,
dan tanggung jawab utamanya adalah perawatan ambulatoir (rawat jalan)
serta program preventif.
Kedua, di tingkat perawatan sekunder,
yang mengisi adalah dokter spesialis seperti penyakit dalam, anak,
saraf, jiwa, kandungan, serta bedah umum. Mereka berlokasi di klinik RS
dan berperan sebagai konsultan pasien rujukan dokter umum dan melayani
rawat inap. Pada giliranya, mereka mengembalikan pasien tersebut ke
dokter umum untuk kebutuhan perawatan yang terus-menerus.
Ketiga,
ada subspesialis perawatan tersier, seperti ahli bedah jantung, ahli
imunologi, dan ahli hematologi anak. Sistem yang ada saat ini masih
sangat tidak teratur. Ketika banyak puskesmas yang tidak punya dokter
umum, RS menjamur dengan dukungan teknologi modern, yang bergerak cepat
hingga makin merebut porsi pelayanan tersier. RS itu berlomba lebih
menawarkan perawatan terspesialisasi seperti bedah dan prosedur
obstetrik yang berisiko tinggi.
Saya meyakini, pola itu
mengakibatkan angka mortalitas lebih tinggi jika dibanding ketika
prosedur suatu tindakan dilakukan secara regionalisasi. Belum lagi,
pasien terbiasa datang langsung ke layanan spesialis dan perawatan
tersier.
Padahal, akuntabilitas perawatan yang menyeluruh masih
rendah, karena masing-masing spesialis berfokus memikirkan penanganan
satu sistem organ. Lebih parah lagi, masing-masing dokter spesialis itu
memberikan layanan perawatan berkualitas tinggi.
Kondisi tersebut
sangat membebani pemerintah. Sebab, perawatan berbasis spesialisasi
dengan teknologi tinggi lebih bersifat kuratif dan individualistis.
Itulah yang membuat perawatan terpecah dan tidak terkoordinasi.
Akibatnya, layanan perawatan primer dasar seperti pencegahan penyakit
dan dukungan perawatan untuk pasien penyakit kronis yang tidak bisa
disembuhkan terpinggirkan.
Dari segi biaya, sistem yang bertumpu
pada perawatan spesialis itu berbiaya tinggi (bagi konsumen) dan berarti
menjanjikan pendapatan tinggi (bagi dokter dan manajemen). Akibatnya
fatal, terjadi tren mahasiswa kedokteran yang makin tidak tertarik untuk
memilih perawatan primer sebagai karier.
Bahaya lainnya adalah
munculnya industri kesehatan swasta berskala besar yang dari tahun ke
tahun makin menjamur dan makin kuat memaksakan pengaruhnya. Kondisi itu
makin mengikis profesi kedokteran, sehingga otonomi dan otoritasnya bisa
terancam.
Sistem saat ini cenderung membuat jutaan orang bergerak
sendiri-sendiri, pertumbuhan dan pluralismenya tidak terkontrol hingga
menjurus ke anarki. Pasien merasa terbiasa diperiksa langsung oleh
dokter spesialis yang mereka pilih sendiri. Peran dokter umum di lini
primer menjadi kurang jelas. Tak heran jika makin sulit mencari dokter
umum, karena kini mereka berebut menjadi dokter spesialis.
Rentetan
masalah tersebut memunculkan celah di perawatan primer, sehingga
beberapa dokter spesialis dari tingkat perawatan tersiernya juga
berperan sebagai dokter keluarga primer. Jadilah perawatan primer itu
tempat praktik bagi banyak dokter spesialis dengan peran yang tumpang
tindih. Kondisi tersebut banyak terjadi di daerah surplus ekonomi dan
padat penduduk.
Sementara itu, di daerah miskin, mendapatkan
dokter umum saja masih sulit. Bisa dikatakan, fondasi perawatan primer
kita sedang terancam retak. Ini masalah mendesak. Pemerintah perlu
secepatnya menata ulang sistem layanan primer-sekunder-tersier.
Selamat Hari Kesehatan Nasional! (*)