Rabu, 13 November 2013

Tata Ulang Sistem Layanan Kesehatan

Oleh: Pribakti B
Dokter RSUD Ulin Banjarmasin
Masih hangat di benak kita riuh gonjang-ganjing bayi D yang ditolak sedikitnya lima rumah sakit di ibu kota. Ketika itu profesi dokter mendapat sorotan tajam dan tuduhan menolak pasien yang tidak beralasan.
Berbagai pemberitaan di media bukannya membawa kesejukan, justru memelintir fakta dan memperkeruh suasana. Boleh jadi, itulah yang memancing selentingan usul dari seorang politisi untuk membangun fasilitas neonatal intensive care unit (NICU) di puskesmas.
Masa iya itu solusinya? Sebab puskesmas, sesuai namanya, dibangun untuk menjadi pusat kesehatan masyarakat. Sekali lagi, sesuai namanya, puskesmas berlokasi di tengah masyarakat, agar masyarakat dapat memilki akses terhadap fasilitas layanan kesehatan yang dekat dan terjangkau.
Bertolak dari hal tersebut, puskesmas sebagai layanan primer pun dibekali banyak misi untuk menjaga kesehatan masyarakat, dengan berfokus pada upaya pencegahan (preventif), bukan pengobatan (kuratif). Implikasi nyatanya sudah cukup banyak. Sebut saja pemberantasan jentik nyamuk, imunisasi masal, dan penyuluhan gizi. Semuanya dilakukan untuk promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
Usulan untuk membangun NICU di puskesmas jelas bertolak belakang dengan misi pembangunan puskesmas itu sendiri. Bagaimana mungkin fasilitas NICU yang bertujuan menangani bayi baru lahir yang membutuhkan perawatan intensif mendapat tempat dalam upaya “promosi kesehatan dan pencegahan penyakit”? Bukankah lebih tepat dan lebih logis bila fasilitas NICU berada di tempatnya selama ini, yakni di rumah sakit besar atau rumah sakit rujukan?
Sebab berdasar topografi pengorganisasian perawatan kesehatan, layanan kesehatan dibagi menjadi tiga. Pertama, perawatan primer yang meliputi layanan kesehatan umum dan preventif (vaksinasi) sebagai aktivitas utama. Kedua, perawatan sekunder yang meliputi layanan yang membutuhkan keahlian klinis terspesialisasi seperti perawatan Rumah Sakit (RS). Ketiga, perawatan tersier, yang berada di puncak piramida organisasional, yang meliputi penanganan kelainan yang kompleks dan jarang seperti kelainan kongenital.
Artinya, dalam hal ini negara harus mampu mewujudkan struktur perawatan primer-sekunder-tersier dengan rapi dan teratur. Jumlah dokter umum harus lebih banyak daripada dokter spesialis, setidaknya 60:40.
Konsep yang perlu dipertimbangkan, pertama, pelayanan di tingkat perawatan primer dikomando dokter umum, dan tanggung jawab utamanya adalah perawatan ambulatoir (rawat jalan) serta program preventif.
Kedua, di tingkat perawatan sekunder, yang mengisi adalah dokter spesialis seperti penyakit dalam, anak, saraf, jiwa, kandungan, serta bedah umum. Mereka berlokasi di klinik RS dan berperan sebagai konsultan pasien rujukan dokter umum dan melayani rawat inap. Pada giliranya, mereka mengembalikan pasien tersebut ke dokter umum untuk kebutuhan perawatan yang terus-menerus.
Ketiga, ada subspesialis perawatan tersier, seperti ahli bedah jantung, ahli imunologi, dan ahli hematologi anak. Sistem yang ada saat ini masih sangat tidak teratur. Ketika banyak puskesmas yang tidak punya dokter umum, RS menjamur dengan dukungan teknologi modern, yang bergerak cepat hingga makin merebut porsi pelayanan tersier. RS itu berlomba lebih menawarkan perawatan terspesialisasi seperti bedah dan prosedur obstetrik yang berisiko tinggi.
Saya meyakini, pola itu mengakibatkan angka mortalitas lebih tinggi jika dibanding ketika prosedur suatu tindakan dilakukan secara regionalisasi. Belum lagi, pasien terbiasa datang langsung ke layanan spesialis dan perawatan tersier.
Padahal, akuntabilitas perawatan yang menyeluruh masih rendah, karena masing-masing spesialis berfokus memikirkan penanganan satu sistem organ. Lebih parah lagi, masing-masing dokter spesialis itu memberikan layanan perawatan berkualitas tinggi.
Kondisi tersebut sangat membebani pemerintah. Sebab, perawatan berbasis spesialisasi dengan teknologi tinggi lebih bersifat kuratif dan individualistis. Itulah yang membuat perawatan terpecah dan tidak terkoordinasi. Akibatnya, layanan perawatan primer dasar seperti pencegahan penyakit dan dukungan perawatan untuk pasien penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan terpinggirkan.
Dari segi biaya, sistem yang bertumpu pada perawatan spesialis itu berbiaya tinggi (bagi konsumen) dan berarti menjanjikan pendapatan tinggi (bagi dokter dan manajemen). Akibatnya fatal, terjadi tren mahasiswa kedokteran yang makin tidak tertarik untuk memilih perawatan primer sebagai karier.
Bahaya lainnya adalah munculnya industri kesehatan swasta berskala besar yang dari tahun ke tahun makin menjamur dan makin kuat memaksakan pengaruhnya. Kondisi itu makin mengikis profesi kedokteran, sehingga otonomi dan otoritasnya bisa terancam.
Sistem saat ini cenderung membuat jutaan orang bergerak sendiri-sendiri, pertumbuhan dan pluralismenya tidak terkontrol hingga menjurus ke anarki. Pasien merasa terbiasa diperiksa langsung oleh dokter spesialis yang mereka pilih sendiri. Peran dokter umum di lini primer menjadi kurang jelas. Tak heran jika makin sulit mencari dokter umum, karena kini mereka berebut menjadi dokter spesialis.
Rentetan masalah tersebut memunculkan celah di perawatan primer, sehingga beberapa dokter spesialis dari tingkat perawatan tersiernya juga berperan sebagai dokter keluarga primer. Jadilah perawatan primer itu tempat praktik bagi banyak dokter spesialis dengan peran yang tumpang tindih. Kondisi tersebut banyak terjadi di daerah surplus ekonomi dan padat penduduk.
Sementara itu, di daerah miskin, mendapatkan dokter umum saja masih sulit. Bisa dikatakan, fondasi perawatan primer kita sedang terancam retak. Ini masalah mendesak. Pemerintah perlu secepatnya menata ulang sistem layanan primer-sekunder-tersier.
Selamat Hari Kesehatan Nasional! (*)
Free Backlinks