Minggu, 03 November 2013

Jamkes, Pencitraan atau Tulus



Oleh : dr H Milhan SpOG, MMDokter RSUD Datu Sanggul Rantau, Tapin

Pada 7 April tiap tahun diperingati sebagai Hari Kesehatan Sedunia. Sesungguhnya derajat kesehatan masyarakat dunia tentu dipengaruhi derajat kesehatan masing-masing negara.

Di Indonesia sistem pelayanan kesehatan terus dibenahi, termasuk dengan kejadian-kejadian yang banyak menyedot perhatian publik. Berita bayi Dera yang meninggal karena katanya ditolak 10 rumah sakit di Jakarta, beberapa media dan publik seakan seragam “menyalahkan” pihak rumah sakit dan dokternya, walaupun sudah ditanggapi Menkes bahwa itu hanya masalah miskomunikasi dan keterbatasan sarana, dan semestinya  publik melihat dengan kacamata berimbang dan mencarikan solusi permasalahan kesehatan di Indonesia.

Berbagai macam komentar miring muncul mengiringi berita tentang nasib bayi Dera. Bayi berat badan seribu gram “tidak boleh mati”. Awas, itu dosa besar, rumah sakit tidak profesional, dokter tidak bermoral, menteri diam saja, gubernur cuma pencitraan, tuntut sampai tuntas semua yang terlibat dalam kematian bayi tidak berdosa, dan vonisnya: Si Miskin Tidak Boleh Sakit.

Belum hilang ngiang tentang “penolakan” terhadap bayi Dera, ada lagi berita pernyataan ketua komisi IX DPR tentang “profesi dokter lebih jahat daripada polantas”, yang berlanjut dengan surat permintaan klarifikasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) kepada yang bersangkutan terkait pernyataan tersebut.

Hampir semua dokter di Indonesia protes dengan pernyataan tersebut dan membuat petisi agar yang bersangkutan diberhentikan sebagai ketua komisi IX DPR RI dan meminta maaf.

Bahkan ada pernyataan bahwa dokter tidak mau meresepkan obat generik dan memaksakan pasien untuk memakai obat paten. Setahu saya pernyataan itu tidak benar. Perusahaan farmasi membantu kalangan kedokteran dalam hal penelitian, dan publikasi ilmu pengetahuan kedokteran yang sangat dinamis.

Kalau pun dokter difasilitasi untuk mengikuti seminar dalam dan luar negeri, itu sudah dibenarkan oleh kode etik, karena dalam rangka meningkatkan riset dan publikasi ilmu kedokteran.

Seorang sahabat dalam status facebook-nya mengatakan: Apa saja yang sudah dilakukan oleh pekerja kesehatan, sejuta, sepuluh juta, seratus juta orang sakit yang berhasil diobati, kematian dokter di rimba pedalaman, honor petugas kesehatan yang lebih rendah dari sopir bis, penyakit dan kematian akibat beban kerja paramedis yang overload, tidak akan diberitakan, karena tidak laku diberitakan. Yang laku adalah kematian bayi prematur dengan kelainan berat badan dan komplikasi medis yang menyertainya.

Sudah menjadi “nasib”, dokter dianggap laksana dewa. Dokter adalah makhluk Tuhan yang tercipta untuk menolong sesama, dokter bak malaikat yang tidak boleh melakukan kesalahan, dokter adalah penyembuh, bahkan dokter dianggap sebagai penyebab hidup atau matinya seseorang.

Tapi mungkin tidak banyak yang sadar bahwa dokter juga manusia yang bisa lelah, dokter adalah juga seperti manusia umumnya yang bisa melakukan kesalahan, dokter hanyalah manusia yang disumpah untuk melakukan yang terbaik sesuai kemampuannya dan bukan bersumpah untuk menjadi sempurna.

Di beberapa negara pembiayaan pelayanan kesehatan memang mahal, tapi karena sistem asuransi bagus jadi ter-cover semua. Di Indonesia, masyarakat cuma mau ter-cover-nya saja tanpa bayar asuransi. Artinya masyarakat miskin dan juga termasuk masyarakat kaya digratiskan berobat bahkan sampai operasi dibayari oleh pemerintah, tanpa bayar asuransi.

Padahal anggaran pemerintah sendiri tidak cukup. Contoh: di suatu kabupaten, pemda mengganggarkan biaya pengobatan gratis warganya misalnya Rp 3 miliar per tahun. Biaya sebanyak itu, terkadang habis dalam waktu 7-8 bulan, akhirnya pemda mengutang pembiayaan itu sama rumah sakit dan puskesmasnya. Rumah sakitnya mengutang sama distributor obat-obatan, termasuk mengutang membayar jasa petugas kesehatannya.

Semestinya semua masyarakat bayar asuransi kesehatan, atau kalaupun harus dijamin atau digratiskan itu adalah masyarakat yang benar-benar miskin. Ini yang mampu juga digratiskan, contohnya di Kabupaten Tapin, Kalsel. Asal punya KTP Tapin bisa berobat. Padahal dana yang disiapkan pemda itu kalau benar-benar untuk masyarakat miskin tentu akan lebih banyak warga miskin yang bisa berobat.  Dan dengan masyarakat mampu yang juga digratiskan akan membuat masyarakat manja, dan malas berusaha.

Sehingga ketika ada berita gaji dokter lebih kecil daripada sopir busway, beragam komentar pro kontra muncul baik dari kalangan kedokteran maupun bukan kedokteran. Ada yang mengatakan wajar karena sopir busway membawa ratusan orang perlu konsentrasi tinggi. Sementara ada yang mengatakan dokter menangani orang sakit sedangkan batas antara sakit dan kematian lebih dekat, sehingga justru perlu lebih tinggi konsentrasi dan peningkatan ilmu dan keterampilannya, dan bahkan di Jakarta dengan adanya program Kartu Jakarta Sehat (KJS) seorang dokter sehari melayani kurang lebih 100 pasien.

Berbicara tentang keikhlasan, seorang dokter yang  meluangkan waktu dan pergi ke tempat kerja atau mendatangi pasien, itu pasti perlu transport? Dan di UU negara kita dokter juga berhak mendapatkan imbalan atas jasanya, bukan hanya perlu keikhlasan untuk menyambung hidup. Saya kira tidak perlu bicara lagi  keikhlasan para dokter. Saya yakin para teman sejawat dokter pasti mengusahakan yang terbaik bagi pasiennya.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya sempat baca komentar karyawan sebuah RSUD di Jakarta kaitannya dengan pelayanan kesehatan tanpa memperhatikan petugasnya:  “.....kami dari RSUD Pasar Rebo sejak awal KJS kelas II nya sudah menampung pasien KJS, bahkan kelas I istimewa (hampir VIP) juga kebagian pasien KJS, dari segi tempat, kebetulan memang sejak jauh hari RSUD kami sudah buat gedung baru, tapi bukan untuk fasilitas ruang rawat, untuk tenaga SDM belum ada penambahan, bahkan hampir 80% kami baik dokter spesialis sampai pegawai kecilnya belum diangkat jadi PNS... bagaimana manajemen RSUD mau nolak... takutlah nanti dipecat... alhasil kita bawahan diperas untuk pencitraan penguasa...Program KJS bagus, hanya terkesan utk pencitraan...karena kalau memang tulus, pastilah nasib kita sebagai petugas kesehatan juga diperhatikan...”

Jaminan pelayanan kesehatan masyarakat, apa pun namanya harus tetap memperhatikan kemampuan dan kesejahteraan petugasnya. Jasa pelayanan jaminan kesehatan dibayar tiap bulan, Sarana dan prasaran dilengkapi. Keluhan dan usulan pasien dan petugas kesehatan didengar dan diperhatikan. (*)

link: http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/04/09/jamkes-pencitraan-atau-tulus
Free Backlinks