Oleh: dr Wahyu W Bachtiar SpB
Dokter Spesialis Bedah di Banjarbaru
Seorang
ibu hamil bersama suaminya tergesa-gesa masuk ke dalam ruang praktik
dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Mereka tampak cemas
dan khawatir. Kepada dokter, keduanya menanyakan apakah janin yang
dikandung yang diperkirakan berumur 7 bulan itu memiliki kepala?
Karuan
saja dokter tersebut kaget dan mengatakan tidak mungkin mengetahui
tanpa melakukan pemeriksaan penunjang ultrasonografi (USG). Setelah
dilakukan pemeriksaan USG mereka tampak lega karena hasil pemeriksaan
menunjukkan bahwa tidak ada yang salah dengan janin yang dikandung perempuan itu.
Kemudian
mereka bercerita bahwa baru saja melakukan pemeriksaan USG di tempat
praktik seorang paramedis, yang menyatakan bahwa pada janinnya tidak
ditemukan kepala alias tidak berkepala.
Pada
kesempatan lain seorang ibu memaksa dokter spesialis kandungan yang
merawatnya untuk melakukan sectio cesaria (operasi secar/SC) untuk
mengeluarkan janinnya. Alasannya, berdasarkan pemeriksaan USG paramedis,
air ketubannya sudah habis sehingga tidak bisa lahir secara normal.
Setelah
dilakukan pemeriksaan ulang oleh dokter tersebut jumlah air ketubannya
dalam batas normal, tidak habis sehingga bisa diupayakan persalinan
normal tidak harus dioperasi SC.
Demikianlah dua buah ilustrasi kasus di atas yang mungkin atau bahkan sudah pernah dialami oleh dokter yang berkecimpung dalam bidang kebidanan dan penyakit kandungan.
Harus
dimengerti oleh masyarakat umum, pada dunia kedokteran dan pengobatan
ada dua kelompok profesi yang terlibat yaitu medis dan paramedis.
Kelompok
pertama (medis) adalah dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis dan
dokter subspesialis, sedangkan kelompok paramedis adalah perawat dan
bidan.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI) paramedis adalah orang yang bekerja di lingkungan kesehatan
sebagai pembantu dokter (seperti perawat). Sejak awal, pola pendidikan
kedua jenis profesi ini berbeda. Kalau dokter, harus menempuh jenjang
studi strata 1 (S1) di Fakultas Kedokteran universitas negeri atau
swasta, tidak ada jurusan D3 atau sarjana muda untuk gelar dokter.
Sedangkan untuk profesi paramedis ada jurusan Diploma 3 (D3) misalnya
lulusan akademi perawat, akademi kebidanan. Ada juga jurusan S1, S2 bagi
perawat bila dia menempuh jenjang pendidikan sarjana keperawatan
(SKep).
Kompetensi (kewenangan, kemampuan) profesi medis dan
paramedis sangat berbeda. Untuk diagnosis klinis harus dari dokter bukan
dari paramedis. Paramedis adalah mitra dokter bekerja sama dalam
melaksanakan apa yang sudah diputuskan tersebut.
Ada beberapa
kewenangan dokter yang bisa dilimpahkan untuk diaplikasikan kepada
pasien, misalnya dokter menginstruksikan memberi obat, kemudian perawat
yang menyuntik obat kepada pasien.
Untuk pendidikan dokter
spesialis lebih sulit, karena setelah mendapatkan gelar dokter (yang
ditempuh kurang lebih enam tahun) harus mengikuti pendidikan lagi kurang
lebih 5-6 tahun baru berhak menyandang gelar profesi dokter spesialis.
Kemampuan, kapabilitas dan kompetensi antara perawat, dokter dan dokter
spesialis jelas berbeda.
Pemeriksaan penunjang USG
(ultrasonografi) adalah kompetensi dokter spesialis (medis) bukan
kompetensi bidan atau perawat (paramedis). Kalau ini
dilanggar maka akan sering terjadi penyakit yang misdiagnosis (salah
diagnosis), overdiagnosis (diagnosis yang berlebihan) atau undiagnosis
(tidak terdiagnosis). Sebaiknya masyarakat umum memahami hal ini,
sehingga tidak berobat atau memeriksakan diri kepada petugas yang tidak
kompeten untuk menghindari salah interprestasi seperti ilustrasi kasus
pada awal tulisan ini.
Para pengambil keputusan (birokrat) pun
harus memahami kompetensi ini. Karena terkadang profesi paramedis
dipaksa berperilaku sebagai tenaga medis oleh birokrat yang tidak faham
dunia kedokteran, misalnya di suatu puskesmas yang tidak ada tenaga
medisnya, diberikan alat USG oleh dinas kesehatan.
Kemudian ada
lagi pesantren yang memiliki balai pengobatan, di situ ditempatkan alat
USG yang dioperasikan oleh paramedis. Tak heran, diagnosis yang
“aneh-aneh” sering muncul dari pasien yang dilakukan pemeriksaan di
tempat tersebut.
Untuk tenaga paramedis seharusnya menyadari
kewenangan dan kompetensi ini. Mereka hendaknya tidak mudah tergiur
bujuk rayu para penjual/penyalur USG buatan Cina dengan harga murah
kemudian berpraktik layaknya seorang dokter spesialis. Sekali lagi, ini
sangat membahayakan dan merugikan pasien.
Alat USG adalah operator
deppendent (tergantung operator/orang yang mengoperasikannya). Untuk
melihat adanya kelainan pada tampilan/imaging USG pada layar diperlukan
ketajaman mata, ketelitian, jam terbang, dan basic anatomi fisiologi
serta embryologi yang kuat. Tidak hanya berdasarkan pelatihan USG yg
dilakukan satu mingguan. Orang yang dilatih mengoperasikan USG selama
beberapa hari, belum bisa dikatakan kompeten mengoperasikan alat ini.
Dokter
spesialis juga harus selalu tetap mengasah diri untuk mengoperasikan
USG secara baik dan benar. Setiap peserta pendidikan dokter spesialis
bedah dibekali dengan kursus FAST (Focussed abdominal sonoghrapy for
trauma) sehingga setiap dokter spesialis bedah diharapkan terampil dalam
mendiagnosis adanya cedera organ dalam perut (abdominal) dengan
menggunakan USG. Mereka tidak harus selalu buru-buru melakukan prosedur
operasi (membuka) perut pasien untuk melakukan diagnosis pada kasus
trauma. Dilakukan screening dengan USG terlebih dahulu.
Dokter
spesialis kebidanan dan kandungan biasanya lebih terampil lagi dalam
menggunakan alat USG ini. Di samping karena memang kompetensi mereka,
kolegium (persatuan) dokter spesialis kebidanan dan kandungan
memperlakukan standar yang sangat ketat untuk para anggotanya (dokter
spesialis obsgin), untuk melakukan kursus dan pendidikan USG yang
berkesinambungan. Agar hasil pemeriksaan USG bagi ibu hamil terukur
(accountable) dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Melalui
pemeriksan USG diharapkan didapat informasi penting mengenai keadaan
janin, misalnya umur dan perkembangan janin, letak plasenta, keadaan air
ketuban, posisi janin (sungsang atau tidak) dan banyak informasi
penting lain yang berguna dalam manajemen terhadap proses persalinan
yang akan dilalui oleh ibu bersama janinnya.
Bukan sekadar
mengetahui perkiraan jenis kelamin janin. Melalui pemeriksaan USG ini
diupayakan semua kemungkinan dan risiko bisa diantisipasi. Meski
demikian, masih saja terkadang timbul penyulit-penyulit yang merubah
rencana awal menjadi berbeda.
Mengingat kompleksitas dan
kepentingan pemeriksaan ini, maka pemeriksaan USG bagi ibu hamil harus
dilakukan oleh seorang dokter spesialis obsgin yang sudah terlatih,
bukan oleh seorang paramedis.
Pemeriksaan USG yang dilakukan oleh
paramedis yg tidak kompeten rentan terjadi misinterprestasi terhadap
imaging yang dihasilkan mesin USG. Karena, interprestasinya tidak
didasari oleh ilmu pengetahuan dan skill yang baik (leak of skill and
knowledge). Salah dalam menyimpulkan gambaran sonografis bisa berakibat
salah memanagement pasien. Berlaku hukum garbage in garbage out. (*)
sumber: BPOST