Oleh : dr H Wahyu W Bachtiar SpB
Dokter di Banjarbaru
Dalam
dunia kedokteran, istilah “merujuk” merupakan upaya mengirim pasien
untuk dilakukan pengobatan ke tempat dengan fasilitas, prasarana dan
sarana yang lebih baik daripada tempat asal.
Dalam mengobati
pasien, setiap dokter pasti memiliki keterbatasan, itu bisa disebabkan
karena peralatan, bahan-bahan ataupun sumber daya yang terlibat dalam
proses pengobatan itu tidak memadai, sehingga pasien perlu dirujuk ke
fasilitas yang lebih tinggi.
Sekarang setiap dokter juga mengenal
istilah kompetensi, kurang lebih berarti daftar tindakan atau
penyakit-penyakit apa yang yang bisa ditangani dokter berdasarkan
tingkat pendidikan yang sudah ditempuhnya. Misalnya dokter umum hanya
boleh mengerjakan penyakit penyakit yang sifatnya umum dan tidak boleh
melakukan operasi mayor/besar. Jadi kalau menemui kasus penyakit yang
memang bukan kompetensinya dokter boleh merujuk pasien itu ke fasilitas
yang ada dokter yang bisa mengerjakan kasus tersebut.
Sikap mau
merujuk pasien ini, sebenarnya cermin dari kehati-hatian dan kerendahan
hati dokter demi keselamatan pasien, istilah yang populer sekarang
adalah patient safety goal, tujuannya adalah keselamatan pasien.
Di
kota kota besar dan dunia ada istilah JCI (joint commision
international) for safety patient suatu komisi international perduli
keselamatan pasien. Setiap rumah sakit besar berlomba-lomba mendapatkan
sertifikat JCI, agar memenuhi standar internasional dalam keselamatan
pasien. Dan dalam proses selanjutnya bisa mencantumkan rumah sakit
berkelas internasional.
Dalam hal pelayanan kesehatan, keselamatan
pasien adalah di atas segala-segalanya. Harus difahami semua pihak di
luar kalangan medis yang terlibat dalam operasional rumah sakit. Jadi
pelayanan yang diberikan seyogyanya yang terbaik.
Pertimbangan ini
sepenuhnya ditangan tenaga medis yang profesional sesuai bidang dan
kompetensi dokter dan dokter spesialis yang bekerja di rumah sakit
tersebut. Sangat beresiko kalau pertimbangan pemilihan obat obatan,
bahan habis pakai dan peralatan berdasarkan harga dan kebijakan di luar
pertimbangan kedokteran. Jadi prinsip kalau ada yang murah kenapa harus
beli yang mahal tidak berlaku dalam dunia kedokteran.
Misalnya
pemilihan antibiotik bagi pasien, harus berdasarkan pertimbangan bukti
epidemiologis, pertimbangan klinis, pola kuman, dan kompetensi klinik
dokter yang merawat. Bukan atas perintah atau keinginan pemerintah
kabupaten apalagi keinginan direktur rumah sakit.
Karena kalau hal
ini terjadi, objektivitas para dokter terhadap diagnosis dan terapi
pasien menjadi berkurang, lebih bahaya lagi kalau pertimbangan obat yang
berikan adalah hanya berdasarkan ketersediaan obat di rumah sakit saja,
bukan berdasarkan pilihan obat yang “terbaik” bagi pasien.
Kalau
ini terjadi masa tinggal pasien di RS bisa menjadi panjang karena
pasiennya tidak sembuh sembuh, atau indikator laboratoriumnya tidak
membaik sebagai prasyarat pasien untuk pulang dari rumah sakit, bisa
juga terjadi luka operasi yang tidak sembuh-sembuh.
Dan satu
satunya pihak yang mengerti dan kompeten dalam menilai kondisi pasien
ini adalah dokter atau dokter spesialis yang merawat pasien, bukan pihak
lain. Sesama dokter spesialis pun tidak bisa saling menilai, atau
menyalahkan. Dokter spesialis anak, tidak bisa menyalahkan atau menilai
keputusan klinis yang diambil oleh dokter spesialis kebidanan dan
kandungan, demikian juga sebaliknya.
Demikian juga keputusan
merujuk ataupun tidak merujuk mutlak di tangan dokter dan dokter
spesialis yang merawat, bukan atas saran direktur atau pemerintah
kabupaten. Bayangkan misalnya seorang kepala pemerintah daerah ikut
campur dengan meminta dokter dokter di kabupatennya tidak merujuk pasien
ke tempat fasilitas lain karena “merasa” fasilitas di kab masih mampu.
Tentunya hal ini melampaui kewenangan klinis yang diemban dokter.
Kadang-kadang
terkesan konyol dan lucu kalau ada direktur rumah sakit atau pemerintah
kabupaten yang terang-terangan melarang merujuk pasien. Sebagai
ilustrasi kasus, ada pasien kecelakaan lalu lintas jauh dari
Banjarmasin, pasien mengalami benturan di kepala, dan dicurigai
mengalami epidural hematom, pasien tidak sadar. Dalam situasi ini tidak
ada yang bisa dilakukan untuk menolong pasien selain segera melobangi
kepala pasien untuk mengeluarkan hematom atau darah yang menekan otak.
Masalahnya
apakah rumah sakit itu memiliki set untuk craniotomi? (peralatan
operasi pelubang tengkorak kepala), kalaupun peralatan tersedia, apakah
dokter bedahnya berani melakukan tindakan tanpa pemeriksaan penunjang ct
scan (computerized tomography scanning) kepala yang adanya hanya di RS
Besar di Banjarmasin?. Kalaupun dokter bedahnya berani melakukan
tindakan “heroik” dengan melakukan sehingga pasiennya menjadi sadar,
apakah rumah sakit kabupaten itu memiliki ruang rawat yang baik untuk
seperti ICU atau ruang perawatan intensif yang memadai.
Karena
tidak jarang dokter bedah bisa operasi, tetapi perawatan pascaoperasinya
tidak memadai, hasil operasi tetap tidak memuaskan, pasien tetap tidak
tertolong, walaupun selamat dan hidup saat keluar dari kamar operasi,
tetapi meninggal beberapa hari kemudian karena perawatan pasca operasi
yang tidak adekuat.
Dalam kondisi tersebut maka sebaiknya sejak
awal pasien tersebut dirujuk ke RS yang fasilitasnya memadai. Dalam
situasi tersebut hanya dokter satu satunya yang mengerti kondisi pasien.
Bukan siapapun.
Jadi jangan pernah melarang para dokter untuk
merujuk pasiennya, tetapi berikan imbauan bagi para dokter untuk
mengerjakan kewenangan klinisnya dengan standar tinggi dengan
menempatkan pertimbangan keselamatan pasien sebagai pertimbangan
tertinggi.
Jangan pernah memberikan penilaian klinis sepihak,
mengenai tindakan yang sudah dilakukan oleh para dokter karena kita
mungkin sama sekali tidak berkompeten (tidak cukup ilmu) untuk
mengomentari, menyalahkan, membenarkan tindakan seorang dokter. Yang
berhak adalah kolegium (perkumpulan dokter spesialis) itu sendiri.
Jangan
bermain-main dengan keselamatan pasien, berikan obat yang terbaik yang
bisa diberikan kepada pasien, jangan hanya mengandalkan obat generik,
terkadang obat generik tidak cukup untuk mengobati pasien dengan banyak
komplikasi.
Pemerintah berkewajiban memberikan sarana dan
obat-obatan yang terbaik kepada masyarakatnya kalaupun ada perbedaan
harga antara obat yang baik dan obat yang biasa, adalah kewajiban
pemerintah untuk menyukupi, bagaimanapun caranya, atau melakukan
pendekatan dengan asuransi yang biasa mengcover pembiayaan bagi
masyarakat, untuk menyediakan obat yang baik.
Tidak hanya pasrah
dengan keadaan, dan memaksa para dokter untuk memberikan pengobatan
“seadanya” saja. Dan membatasi batasi para dokter untuk melakukan
keputusan klinis yang sudah menjadi kewenangan klinis para dokter. (*)
sumber: http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/10/31/merujuk-pasien-bukan-kelemahan